Pasukan Kuli Tionghoa Di Perancis : Dibalik Kemenangan Sekutu & Perubahan Di Tiongkok

 Judul di atas itu mungkin pada awalnya terkesan merendahkan , “Pasukan Kuli” . Mereka berasal dari mantan adikuasa yang pemerintahnya tidak lagi berwibawa. Walau diremehkan , pasukan kuli ini turut mendorong perubahan di Tiongkok . Dalam Perang Dunia I [1914-1918] , Tiongkok tidak lagi menjadi fokus utama tekanan Barat , karena medan utama peperangan terjadi di Eropa. [1] Di tahun 1916 , kebutuhan tenaga logistik bagi Sekutu di Front Barat dalam Perang Dunia I , sedemikian mendesak. Pertempuran Somme [1 Juli – 14 November 1916] membunuh hampir satu juta personil dari kedua kubu. Perancis dan Inggris sendiri kehilangan sekitar 620 ribu personil dalam pertempuran yang paling mematikan di Perang Dunia I ini. Field Marshall Douglas Haig [1861-1928]  meminta sekitar 21 ribu buruh untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia [SDM].

Sebelumnya Perancis telah mendatangkan sekitar 50 ribu Tionghua dari Tianjin. Inggris mencari SDM baru untuk mendukung kekuatan militernya dari wilayah imperiumnya yang terluas didunia pada saat itu baik dari SDM India , Kanada , Australia , Selandia Baru ; baik yang terlatih maupun tidak di Perancis dan Belgia , yang merupakan sekutu Inggris di Perang Dunia I. Inggris juga mengikuti jejak Perancis dengan melirik Tiongkok , selain India dan kawasan persemakmuran Inggris lainnya.

Kawasan Tiongkok dilirik karena posisinya yang masih netral pada awal perang [2], dan juga potensi populasinya yang besar. Salah satu tokoh berpengaruh , Liang Shiyi 梁士詒 [1869-1933] mendorong kebijakan untuk mengirim buruh daripada mengirimkan prajurit Menurut Liang , kontribusi dalam perang akan berpengaruh pada negosiasi pasca perang.

Rencana Liang ini bertemu dengan kebutuhan Inggris untuk membentuk unit militer non-combatant dan menjadi bagian dari pasukan Inggris. Unit ini akan mendukung perbaikan infrastruktur yang rusak seperti jalan , jaringan kereta api , jaringan komunikasi , lapangan udara , depot amunisi sampai mengevakuasi mayat. Yang cukup memiliki keahlian akan difungsikan untuk memperbaiki kendaraan militer.

Rekruitmen di Tiongkok dilakukan oleh publikasi secara umum maupun jaringan misionaris Inggris. Reward yang ditawarkan cukup menggoda bagi ribuan pria miskin Tionghua di Tiongkok yang baru saja mengalami masa peralihan dari Dinasti Qing ke Republik. Mereka umumnya dari petani miskin di kawasan utara Shandong di tambah sebagian kecil dari kawasan lainnya.

Mereka ditawarkan 3-5 tahun kontrak di negara yang selama ini tidak mereka kenal. Upah yang mereka dapatkan sebesar 2 franc dan bisa lebih tergantung skill dari calon pekerja. Berbagai fasilitas dan tunjangan dari makanan , pakaian , rumah , tunjangan medis dan tunjangan keluarga yang akan mereka terima. Sebelum mereka dilatih terlebih dahulu dalam berbagai keahlian.

Kelompok pertama terdiri dari 1088 orang dikirim dari Wei Hai Wei pada tanggal 18 Januari 1917 ke Eropa . Rutenya melalui Vancouver-Kanada , Halifax , kemudian Liverpool dan akhirnya Perancis. Total perjalanan ini bisa memakan waktu 3 bulan. Di akhir tahun 1917 , sekitar 54 ribu Tionghua  dikapalkan oleh Inggris untuk diterjunkan ke Perancis dan Belgia , beberapanya diantaranya disusul dengan tambahan Tionghua-Kanada. Pasukan Kuli ini segera mendapat reputasi sebagai pekerja keras dan cerdas.

 

Total Pasukan Kuli atau selanjutnya disebut Chinese Labour Corps [CLC] berjumlah 150-200 ribu .[3] Sebagian besar dibawah komando Inggris dan sebagian lainnya dibawah komando Perancis. Secara umum , Inggris cenderung memperlakukan CLC dalam disiplin militer, sementara Perancis memperlakukan CLC sebagaimana halnya sipil.[4]

Walau mereka tidak terjun langsung ke medan perang , tak urung korban berjatuhan karena berbagai insiden perang maupun wabah flu yang melanda Eropa di tahun 1918-1919. Sekitar 2-20  ribu Tionghua gugur di Front Barat ini. Untuk mereka dibangun kawasan pemakaman di Inggris , Belgia dan sebagian besar di Perancis.

[Foto Ilustrasi :

1.Félix Potuit, “The entrance to the Chinese cemetery at Noyelles-sur-Mer”, 23 September 2007 , Public Domain

2.Félix Potuit, “Une tombe du cimetière chinois de Noyelles-sur-Mer (Somme) 楊十月 Yang Shiyue du Shandong”,23 September 2007, Public Domain

Di akhir perang mereka yang masih hidup ,  masih harus mengurus reruntuhan bangunan dan kesemerawutan perang. Kemudian mereka dikembalikan secara bertahap ke Tiongkok sampai tahun 1920-1922.[5] Demobilisasi CLC ini merupakan tugas yang sulit dan membutuhkan waktu dua-tiga tahun . Sebagian Tionghua tetap menginginkan untuk terus berkerja dan memperpanjang kontrak. Di tahun 1921 , masih ada 17171 mantan CLC di Perancis. Mereka mengorganisasi diri dalam Huagong Hui.  Aktivitas utamanya adalah melindungi hak buruh dan memperpanjang pendidikan mereka dan mendorong sikap moral agar menghindari pelacuran , perjudian , alkoholisme dan candu.

Menurut Judith Blick , waktu bebas mereka juga sering dimanfaatkan untuk mempertaruhkan kelebihan uang mereka. Masalah lain adalah alkoholisme dan prostitusi disertai resiko penyebaran penyakit kelamin ||| READ MORE

Leave a comment